Beranda | Artikel
Menyewakan Tanah Pertanian
Kamis, 14 Oktober 2021

MENYEWAKAN TANAH PERTANIAN

Oleh.
Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, MA

Pendahuluan
Alhamdulillah, shalawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta keluarga dan sahabatnya.

Bercocok tanam adalah salah satu lapangan pekerjaan yang halal dan terbukti mendatangkan hasil. Bahkan hingga saat ini kelangsungan hidup umat manusia terus bergantung kepada hasil pertanian dan perkebunan. Kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan yang berhasil digapai manusia belum mampu memberikan alternatif lain. Dan mungkin hingga Hari Kiamat kondisi ini akan terus berlangsung, hasil pertanian menjadi sumber kehidupan umat manusia. Allah Ta’ala telah mengisyaratkan akan fenomena ini dalam banyak ayat, di antaranya pada ayat berikut:

وَالْأَرْضَ بَعْدَ ذَٰلِكَ دَحَاهَا أَخْرَجَ مِنْهَا مَاءَهَا وَمَرْعَاهَا وَالْجِبَالَ أَرْسَاهَا مَتَاعًا لَكُمْ وَلِأَنْعَامِكُمْ

Dan bumi sesudah itu dihamparkan-Nya. Ia memancarkan daripadanya mata airnya, dan (menumbuhkan) tumbuh-tumbuhannya. Dan gunung-gunung dipancangkan-Nya dengan teguh, (semua itu) untuk kesenanganmu dan untuk binatang-binatang ternakmu” [An-Nazi’at/79 : 30-33].

Fenomena ini menjadi bukti tersendiri akan betapa besarnya jasa para petani. Dengan menikmati hasil kerja keras mereka, umat manusia di dunia dapat mempertahankan hidupnya.

Berkat perannya yang senantiasa dibutuhkan oleh masyarakat luas ini, para petani mendapatkan imbalan pahala yang tiada batas:

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَغْرِ سُ غَرْسًا، أَوْ يَزْرَعُ زَرْعًا، فَيَأْكُلٌّ مِنْهُ طَيْرٌ أَوْ إِنْسَانٌ أَوْبَهِيْمَةٌ إِلاَّ كَانَ لَهُ بِهِ صَدَقَةٌ

Tidaklah ada seorang muslim yang menanam satu pohon atau menanam tetumbuhan, lalu ada burung, atau manusia atau hewan ternak yang turut memakan hasil tanamannya, melainkan tanaman itu bernilai sedekah baginya.” [Riwayat Bukhari hadits no 2195 dan Muslim hadits no. 1552]

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Pada hadits-hadits ini terdapat petunjuk tentang keutamaan bercocok tanam dan bertani. Pahala sorang petani terus mengalir hingga Hari Kiamat, selama pohon dan tumbuhan yang ia tanam atau kegunaannya masih bisa dimanfaatkan. Dan sebelumnya, para ulama juga telah berselisih pendapat tentang mata pencaharian yang paling bagus dan utama. Ada yang berpendapat bahwa yang paling utama adalah perdagangan. Ada pula yang berpendapat bahwa perkerjaan paling utama ialah industri. Ada lagi yang mengatakan bahwa pertanian adalah yang paling utama, dan pendapat inilah yang lebih benar.”[1]

Hukum Menyewakan Tanah Pertanian
Jasa dan peran para petani beserta hasil kerjanya begitu penting karena menyangkut hajat hidup orang banyak termasuk Anda. Karena itu, terwujudnya ketahanan pangan bagi seluruh lapisan masyarakat menjadi bagian penting bagi terwujudnya kejayaan mereka.

Oleh karena itu, sebagian ulama berpendapat bahwa pada awal Islam Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang sahabatnya dari menyewakan ladang atau tanah pertanian. Mungkin salah satu hikmah yang dapat kita petik dari larangan itu ialah guna memeratakan ketahanan pangan.[2]

Kondisi para sahabat, terlebih kaum Muhajirin pada awal hijrah ke kota Madinah, sangat memprihatinkan. Mereka berhijrah ke kota Madinah tanpa membawa serta harta kekayaannya. Kondisi ini tentu perlu disiasati dengan bijak dan hikmah, sehingga tidak berkepanjangan dan menimbulkan dampak sosial yang berat.

Guna menyiasati kondisi ini Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan beberapa hal, di antaranya dengan:

  1. Melarang penyewaan ladang:

مَنْ كَانَتْ لَهُ أَرْضٌ فَلْيَزْرَ غْهَا فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ أَنْ يَزْرَ عَهَا وَعَجَزَ عَنْهَا فَلْيَمْنَحْهَا أَخَاهُ الْمُسلِمَ وَلاَ يُؤَاجِرْهَاإِيَّاهُ

Barang siapa memiliki sebidang tanah, maka hendaknya ia menggarap dan menanaminya. Dan bila ia tidak bisa menanaminya atau telah kerepotan untuk menanaminya, maka hendaknya ia memberikannya kepada saudaranya sesama muslim. Dan tidak pantas baginya untuk menyewakan tanah tersebut kepada saudaranya.” [Riwayat Bukhari hadits no. 2215 dan Muslim hadits no. 1536]

  1. Mensyari’atkan kerja sama yang saling menguntungkan:
    Hubungan kerja sama yang saling menguntungkan ini diwujudkan dalam bentuk musaqaah atau muzaraah. Melalui dua skema kerja sama ini, kaum Anshar mempekerjakan Muhajirin di ladang mereka, dan kemudian di saat musim panen tiba, mereka membagi hasilnya sesuai perjanjian. Adanya kerja sama ini nampak dengan jelas pada penuturan sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu berikut ini:

قَالَتِ الأَنْصَارُ لِلنَّبِىِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اقْسِم بَيْنَنَا وَ بَيْنَ إِخْوَانِنَاالنَّخِيلَ، قَالَ :لاَ فَقَالَوا : تَكْفُونَا الْمَئُونَةَ وَنُشْرِكُكُمْ فِى الشَّمَرَةِ، قَالُوا سَمِعْنَاوَأَطَعنَا

Orang-orang Anshar berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam “Bagilah ladang kurma kami menjadi dua bagian, satu bagian untuk kami dan yang lain untuk saudara-saudara kami Muhajirin.” Namun Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab usulan ini dengan bersabda: Tidak. Lalu beliau menawarkan solusi lain melalui sabdanya:”Bila demikian, kalian mempercayakan kepada kami urusan ladang kalian, dan selanjutnya kami turut serta bersama kalian dalam menikmati hasilnya.” Spontan kaum Anshar menyambut tawaran beliau ini dan berkata: “Ya, kami mendengar dan patuh kepada petunjuk ini.” [Riwayat Bukhari hadits no. 2200]

Demikianlah kondisi ini berlangsung hingga beberapa saat lamanya. Adapun setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama para sahabat berhasil menundukkan musuh-musuhnya, maka terbukalah lahan pertanian yang melimpah ruah. Sejak saat itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganulir larangannya dan merestui penyewaan lahan pertanian. Walaupun hal kedua, yaitu kerja sama dengan skema musaqaah atau muzaraah tetap dibiarkan, karena solusi ini terus dibutuhkan adanya hingga akhir masa.

Walau demikian satu ketentuan yang hendaknya Anda indahkan ketika Anda hendak menyewakan ladang Anda. Ketentuan ini bertujuan menjaga tercapainya keadilan dan tranparasi dalam akad sewa menyewa ladang.

Kepastian dan Kejelasan Masa Sewa dan Nilai Sewa.
Sewa-menyewa termasuk ladang pertanian, sejatinya adalah bentuk pertukaran harta kekayaan. Karena itu kejelasan merupakan satu hal penting yang harus Anda wujudkan padanya. Semua itu demi menghindari perselisihan dan silang pemahaman antara kedua belah pihak. Dan dengan cara ini, masing-masing pihak mendapatkan haknya secara utuh tanpa ada yang terkurangi. Ketentuan ini merupakan aplikasi nyata dari hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut:

أَنَّ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ

Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli untung-untungan (gharar).” [Riwayat Muslim hadits no. 1513]

Nilai sewa atau masa sewa yang tidak jelas, menjadikan akad tersebut terlarang dalam Islam. Karena itu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang menyewakan ladang dengan upah berupa bagian dari hasil ladang itu, yang nominal atau jumlahnya tidak dapat ditentukan.

حَنْظَلَةُ بْنُ قَيْسٍ الأَنْصَارِىُّ قَالَ سَأَلْتُ رَافِعَ بْنِ خَدِيْجٍ عَنْ كِرَاءِالأَرْضِ بِالذَّهَبِ وَالْوَرِقِ فَقَالَ لاَ بَأسَ بِهِ إِنَّمَا كَانَ النَّاسُ يُؤَاجِرُونَ عَلَى عَهدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْمَاذِيَانَاتِ وَأَقْبَالِ الْجَدَاوِلِ وَأَشْيَاءَ مِنَ الزَّرْعِفَيَهلِكُ هَذَاوَيَسْلَمُ هَذَا وَيَسْلَمُ هَذَا وَيَهلِكُ هَذَا فَلَمْ يَكُنْ لِلنَّاسِ كِرَاءٌ إِلاَّ هَذَا فَلِذَلِكَ زُجِرَ عَنْهُ، فَأَمَّا شَىْءٌ مَعْلُومٌ مَضْمُونٌ فَلاَ بَأسَ بِهِ

Pada suatu hari, Hanzhalah bin Qais al-Anshari bertanya kepada Rafi’ bin Khadij perihal hukum menyewakan ladang dengan uang sewa berupa emas dan perak. Maka Rafi’ bin Khadij menjawab, “tidak mengapa. Dahulu semasa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masyarakat menyewakan ladang dengan uang sewa berupa hasil dari bagian ladang tersebut yang berdekatan dengan parit atau sungai, dan beberapa bagian hasil tanaman. Dan kemudian di saat panen tiba, ladang bagian ini rusak, sedang bagian yang lain selamat, atau bagian yang ini selamat, namun bagian yang lain rusak. Kala itu tidak ada penyewaan ladang selain dengan cara ini, maka penyewaan semacam ini dilarang. Adapun menyewakan ladang dengan nialai sewa yang pasti, maka tidak mengapa.” [Riwayat Muslim hadits no. 1547]

Hadits ini menjelaskan ketentuan uang sewa:

  1. Bila sewa ladang dengan uang baik dinar atau dirham atau uang lain yang serupa, maka insya Allah tidak mengapa.
  2. Namun, bila uang sewa berupa hasil tanaman yang ditanam di ladang tersebut maka ada dua kemungkinan:

Kemungkinan pertama : Uang sewa ditentukan dengan hasil ladang tertentu.
Misalnya penyewa atau pemilik ladang atau keduanya menyepakati bahwa hasil ladang bagian atas, atau yang dekat dengan parit adalah sebagai uang sewa. Kesepakatan semacam inilah yang dilarang dalam hadits Rafi’ bin Khadij di atas. Alasannya, bisa jadi tanaman di ladang tidak semuanya menghasilkan. Ada kemungkinan yang mengahasilkan hanya sebagian saja, sehingga sangat dimungkinkan terjadi perselisihan, karena salah satu pihak merasa dirugikan. Wajar bila Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangnya, demi menjaga keutuhan persatuan dan persaudaraan antara umat Islam.

Kemungkinan kedua : Uang sewa ditentukan bentuk nisbah (persentase).
Bila uang sewa adalah bagian dari hasil ladang, dan nominalnya ditentukan dalam bentuk nisbah persentase tertentu dari hasil ladang maka akad semacam ini insya Allah tidak mengapa. Walau pun banyak dari ulama yang melarangnya, pendapat Imam Ahmad dan lainnya yang membolehkan akad ini lebih kuat, dengan pertimbangan sebagai berikut:

  1. Hukum asal setiap akad adalah halal.
  2. Tidak ada dalil yang melarang.
  3. Akad ini, walaupun secara lahir adalah akad sewa-menyewa, sejatinya akad ini adalah akad musaqah atau muzaraah. Alasan ini berdasarkan satu kaidah dalam ilmu fiqih yang menjelaskan bahwa standar hukum suatu akad adalah substansi atau hakikatnya dan bukan sekedar teks dan ucapannya.[3]

Berdasarkan kaidah ini dapat kita simpulkan bahwa akad diatas, walaupun menggunakan kata-kata sewa dan uang sewa, secara hukum adalah akad musaqaah atau muzaraah.

Serupa dengan akad sewa ladang yang terlarang pada hadits ini adalah menyewakan lahan untuk dibangun suatu gedung perhotelan atau lainnya, sedang pada akad sewa tersebut disepakati bahwa bila masa sewa telah berlangsung 30 tahun- misalnya- maka gedung hotel beserta seluruh hasilnya menjadi hak pemilik lahan. Dengan demikian, selama 30 tahun pertama pemilik lahan tidak mendapatkan uang sewa, atau mendapatkannya namun dalam nominal yang relatif kecil.

Anda pasti sepakat bahwa tidak seorangpun tahu bagaimana kira-kira kondisi gedung setelah berlalu 10 tahun (apalagi 30 tahun, -red). Kondisi demikian dapat dipastikan rentan memancing munculnya sengketa dan silang pemahaman.

Solusi dari akad sewa semacam ini ialah degan menjadikan harga tanah sebagai bentuk penyertaan modal. Dengan demikian, kepemilikan hotel, gedung, dan tanahnya dimiliki bersama antara investor dan pemilik lahan. Segala keuntungan dibagi berdua sesuai dengan perjanjian dan persentase modal yang mereka sertakan. Dengan solusi ini, kejelasan dalam berbagai aspek akad dapat terwujud, sebagaimana kedua belah pihak berkewajiban menanggung risiko usaha sebesar persentase modalnya.

Antara Menyewakan dan Menggadaikan Ladang
Diantara bentuk akad yang banyak dilakukan masyarakat, terlebih mansyarakat pedesaan, ialah menggadaikan lahan pertanian mereka. Berdasarkan akad ini mereka mendapatkan sejumlah piutang, dan sebagai konsekuensinya mereka menyerahkan ladangnya untuk digarap oleh kreditor. Sebagaimana pada saat jatuh tempo, debitor (penghutang) berkewajiban mengembalikan utangnya dengan utuh tanpa dikurangi sedikit pun. Demikianlah gadai sawah atau ladang yang banyak dilakukan oleh masyarakat.

Akad gadai semacam ini, walaupun telah merajalela, bukan berarti akad ini tanpa masalah alias halal. Akad ini sejatinya adalah akad yang mengandung unsur riba, karena akad ini adalah akad piutang yang mendatangkan keuntungan, sehingga haram secara hukum syari’at.

Sahabat Fudhalah bin Ubaid Radhiyallahu anhu:

كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبَا

Setiap piutang yang mendatangkan manfaat maka itu adalah riba.” [Riwayat al-Baihaqi 5/350]

Ucapan serupa juga ditegaskan oleh sahabat Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Salam dan Anas bin Malik Radhiyallahu anhum sebagaimana disebutkan oleh al-Baihaqi pada kitabnya di atas

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,”Dan piutang yang mendatangkan kemanfaatan, telah tetap pelarangannya dari beberapa sahabat yang sebagian disebutkan oleh penanya dan juga dari selain mereka, diantaranya sahabat Abdullah bin Salam dan Anas bin Malik.”[4]

Coba Anda renungkan : Debitur (penghutang) semasa masih menggarap ladangya ternyata mengalami kesulitan, sehingga berhutang. Tentu setelah ladangnya ia gadaikan, kondisinya semakin parah. Karena itu pada kenyataannya di masyarakat, orang-orang yang menggadaikan lahannya dengan cara semacam ini kesulitan untuk melunasi piutangnya, dan banyak dari mereka terpaksa menjual lahannya.

Kondisi semacam ini tentu tidak baik dan mengancam kerukunan masyarakat. Karena itu, pada kesempatan ini saya menawarkan dua solusi halal dan jauh dari riba:

Solusi pertama : Akad sewa
Menyewakan lahan kepada investor selama beberapa waktu, dapat menjadi alternatif pengganti akad gadai yang mengandung riba. Sebagai pemilik lahan, Anda dapat menyewakan lahan kepada orang lain (investor) dalam batas waktu tertentu, dengan uang sewa yang Anda inginkan dan disetujui oleh penyewa. Dengan hasil penyewaan ini Anda dapat memenuhi keburuhan Anda, tanpa harus terjerumus dalam praktik riba.

Solusi kedua : Kerja sama
Diantara solusi yang lebih adil dan jauh dari perselisihan ialah dengan menjalin kerja sama antara pemilik lahan dengan penggarap. Berdasarkan kerja sama ini kedua belah pihak berhak mendapatkan bagian dari hasil ladang sesuai dengan persentase yang disepakati. Dan sebaliknya bila ladang gagal menghasilkan, maka penggarap ladang bebas dari kewajiban apapun selain mengembalikan ladang kepada pemiliknya.

Akad kerja sama antara dua belah pihak ini dapat menggunakan skema musaqah bila ladang telah ditanami dengan tanaman yang dapat menghasilkan dalam jangka waktu panjang. Dengan skema kerja sama ini pengelola –biasanya- bertanggung jawab merawat tanaman dan kemudian memanen hasilnya. Sementara itu, pengadaan lahan dan juga penanaman pohon adalah tanggung jawab pemodal alias pemilik lahan.

Sebagaimana dapat pula di jalin hubungan dengan skema muzaraah bila tanaman yang ditanam hanya menghasilkan dalam masa yang pendek atau bahkan sekali panen.

Solusi ini pernah diterapkan langsung oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama penduduk negeri Khaibar. Sahabat Abdullah bin Umar Radhiyallahu anhuma mengisahkan :

أَعْطَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْبَرَ الْيَهُودَ أَنْ يَعْمَلُوهَا وَيَزْرَعُوهَا وَلَهُمْ شَطْرُ مَا يَخْرُجُ مِنْهَا

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mempercayakan pengelolaan ladang negeri Khaibar kepada orang-orang Yahudi, agar mereka yang menggarap dan menanamnya. Sebagai imbalannya, mereka berhak mendapatkan separuh dari hasilnya” [Riwayat Bukhari hadits no. 2165]

Kebijakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut kemudian dilanjutkan oleh Khalifah Abu Bakar Radhiyallahu anhu. Demikian pula halnya Khalifah Umar bin Khaththab Radhiyallahu anhu, terutama pada awal pemerintahannya. Namun, setelah mempertimbangkan berbagai hal, Khalifah Umar bin Khaththab Radhiyallahu anhu akhirnya menghentikan kerja sama ini.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Barangsiapa mencermati perdalilan prinsip-prinsip ini, niscaya ia mengetahui bahwa akad ini (muzaraah dan musaqaah) lebih dekat dengan prinsip-prinsip syariah tersebut. Kedua akad ini lebih selaras dengan nalar sehat dan lebih jauh dari hal-hal yang terlarang dibanding akad menyewakan ladang. Bahkan lebih selaras dibanding berbagai akad jual beli dan sewa-menyewa yang telah disepakati oleh ulama akan kehalalannya. Mengingat kedua akad ini mendatangkan kemaslahatan bagi masyarakat luas tanpa ada efek negatif yang mengancam mereka.[5]

Penutup
Semoga paparan singkat tentang hukum menyewakan lahan pertanian ini menambah khazanah ilmiah dan meningkatkan iman Anda kepada syari’at Islam. Syari’at Islam tentang hukum menyewakan tanah ini menjadi satu bukti tesendiri tentang kesempurnaan Islam. Sebagaimana dapat pula menjadi bukti nyata bahwa Islam dalam segala aspek kehidupan menusia telah menyajikan solusi jitu dan terbaik. Semoga Allah Ta’ala menjadikan kita semua sebagai umat Islam yang senantiasa patuh dan taat dengan segala perintah dan syari’atNya.

Wallahu a’lamu bish shawab.

[Disalin dari Majalah Al-Furqon, Edisi 09, Tahun ke-11/Robi’ul Akhir 1433 (Feb – Mar 2012. Diterbitkan Oleh Lajnah Dakwah Ma’had Al-Furqon Al-Islami, Alamat : Ma’had Al-Furqon, Srowo Sidayu Gresik Jatim]
_______
Footnote
[1] Syarah Shahih Muslim oleh Imam Nawawi 5/396
[2] Al-Muhalla oleh Ibnu Hazm 8/211, Bidayatul Mujtahid oleh Ibnu Rusyd 2/179, dan Fat-hul Bari oleh Ibnu Hajar al-Asqalani 5/24
[3] Al-Qawaid al-Kulliyyah wadh-Dhwabith al-Fiqhiyyah oleh Muhammad Utsman Syabir hlm.121
[4] Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyah 29/334
[5] al-Qawa’id an-Nuraniyyah : 242


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/41562-menyewakan-tanah-pertanian-2.html